Selasa, 22 September 2009

60 SAHABAT MUHAMMAD RASULULLAH SAW

sambungan 60 sahabat Muhammad rasulullah saw


Pada suatu hari  Mush`ab tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah saw. Demi memandang Mush`ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush`ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka, sebelum masuk islam – tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau wangi.
            Adapaun Rasulullah saw, menatapnya dengna pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia nan indah seraya bersabda:

“Dahulu saya lihat Mush`ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul Nya.”

            Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush`ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.
           
Akhir pertemuan Mush`ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habasyah. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untukmembunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan. Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad putranya yang telah mengabil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran airmata, sementara Mush`ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.

Saat perpisahan itu menggambarkan kepaa kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran pihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari pihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata : ‘Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”. Maka Mush`ab pun menghampiri ibunya sambil berkata : “Wahai bunda! Telah ananda sampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad saw adalah hamba dan utusan Nya”.

Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut: “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam Agamamu itu. Otakku bias jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi”.

Demikian Mush`ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara. Pemuda ganteng dan parlente itu, kini telah menjadi seorang melrata dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar.

Tetapi jiwanya yang telah dihiasi dengan aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur Ilahi, telah merubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.

Suatu saat Mush`ab dipilih Rasulullah saw untuk melaksanakan tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasulullah saw ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Agama Islam kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbai`at  kepada Rasulullah saw di bukit `Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul saw sebagai peristiwa besar.

Sebenarnya di kalangan sahabat ketika itu masih banyka yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah saw daripada Mush`ab. Tetapi Rasulullah saw menjatuhkan pilihannya kepada “Mush`ab yang baik”. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa bel;iau telah memikulkan tugas yang amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para da`I dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar agama dan pembela islam.

Mush`ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa fikiran yang cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat Zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.

Sesampainya di Madinah, didapatinya kaumMuslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah bai`at di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah dan Rasul Nya.

Pada musim haji berikutnya dari perjanjian `Aqabah, kaum Muslimin Madinah mengirim perutusan yang mewakili mereka menemui sang Nabi saw. Dan perutusan itu dipimpin oleh guru mereka, oleh duta yang dikirim sang Nabi saw kepada mereka, yaitu Mush`ab bin Umair.

Dengan tindakannya yang tepat dan bijaksana, Mush`ab bin Umair telah membuktikan bahwa pilihan Rasulullah saw atas dirinya itu tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan berita gembira lahirnya suatu Agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah saw yang diimaninya, yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka.

Di Madinah Mush`ab tinggal sebagai tamu di rumah As`ad bin Zararah. Dengan didampingi As`ad, ia pergi mengunjungi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat-tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Allah, menyampaikan kalimat Tauhid secara hati-hati.

Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri serta sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah kepada orang-orang, tiba-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush`ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush`ab yang dianggap mengacau dan menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Tuhan Yang Maha Esa yang belum mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing-masing mudah dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu diantaranmya, tentulah ia akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan serta menyampaikan permohonan…..Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran suku Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad saw.- yang diserukan beribadah kepada Nya oleh utusan yang dating kepada mereka itu, tiadalah yang mengetahui tempat Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat Nya.

Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada orang-orang islam yang duduk bersama Mush`ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi “Mush`ab Yang Baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush`ab dan As`ad bin Zararah, bentaknya : “Apa maksud kalian dating ke kampong kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kai? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa melayang!”

Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam……, laksana terang dan damainya cahaya fajar…., terpancarlah ketulusan hati “Mush`ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan ucapan halus, katanya: “Kenapa anda tidak duduk mendengarkan dulu? Seandainya anda menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan apa yang tidak anda sukai itu”.

Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush`ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan kepada hati nuraninya sendiri. Yang diminta hanyalah agar ia bersedia mendengar dan bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia kana membiarkan Mush`ab, dan jika tidak, maka Mush`ab berjanji akan meninggalkan kampong dan masyarakat mereka untuk mencari tempat dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

“Sekarang saya insyaf”, uajar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk mendengarkan. Demi Mush`ab membacakan ayat-ayat Al-Qur`an dan menguraikan dakwah yang dibawa oleh sayyidina Muhammad saw, maka dada Usaid pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush`ab selesai dari uraiannya. Usaid pun berseru kepadanya dan kepada sahabatnya : “Alangkah indah dan benarnya ucapan itu…..! Dan apakah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi. Kemudian ujar Mush`ab : “Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah.”

Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah dan bahwa  Muhammad saw itu utusan Allah.

Secepatnya berita itupun tersiarlah. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa`ad bin Mu`adz. Dan setelah mendengar uraian Mush`ab, Sa`ad merasa puas dan masuk islam pula.

Langkah ini disusul pula oleh Sa`ad bin `Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling berdatangan dan tanya -bertanya  sesame mereka: “Jika Usaid bin Hudlair, Sa`ad bin `Ubadah dan Sa`ad bin Mu`adz telah masuk islam, apalagi yang kita tunggu…Ayolah kita pergi kepada Mush`ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah giginya!”.

Demikianlah duta Rasulullah saw yang pertama telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya. Hari-hari dan tahun-tahun pun berlalu, dan Rasulullah saw bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah.

 Orang-orang kafir Qurasy semakin geram dengan dendamnya, mereka menyiapkan teanag untuk melanjutkan tindakan kekerasan terhadap hamba-hamba Allah yang shalih. Terjadilah perang Badar dan kaum kafir qurasy pun beroleh pelajaran pahit yang menghabiskan sisa-sisa fikiran sehat mereka, hingga mereka berusaha menebus kekalahan. Kemudian datanglah giliran perang Uhud, dan kaum Muslimin pun bersiap-siap mengatur barisan. Rasulullah saw berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman menyelidiki siapa yang sebaiknya membawa bendera . Maka terpanggillah “Mush`ab yang baik’, dan pahlawan itu tampil sebagai pembawa bendera.

Peperangan berkobar lalu berkecamuk dengan sengitnya. Pasukan panah melanggar tidak mentaati perintah Rasulullah saw, mereka meninggalkan kedudukannya di celah bukit setelah melihat orang-orang kafir qurasy menderita kekalahan dan mengundurkan diri. Perbuatan mereka itu secepatnya merubah suasana, hingga kemenangan Kaum Muslimin beralih menjadi kekalahan.

Dengan tidak diduga pasukan berkuda kafir Qurasy menyerbu kaum Muslimin dari puncak bukit, lalu tombak dan pedang pun berdentang bagaikan mengamuk, membantai Kaum Muslimin yang tengah kacau balau. Melihat barisan Kaum Muslimin porak-poranda, musuh pun menunjukkan serangan kea rah Rasulullah saw dengan maksud menghantamnya.

Mush`ab bin Umair menyadari suasana gawat ini. Maka diacungkannya bendera setingi-tingginya dan bagaikanngauman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju ke muka, melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Minatnya tertuju untk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah saw. Dengan demikian dirinya pribadi bagaikan membentuk barisan tentara.

Sungguh, walaupun seorang diri, tetapi Mush`ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera bagaikan tamneng kesaktian, sedang yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan matanya yang tajam. Tetapi musuh kian bertambah banyak juga, mereka hendak menyeberang dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai rasulullah saw.

Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata, yang akan mencritakan saat-sata terakhir pahlawan besar Mush`ab bin Umair.

Berkata Ibnu Sa`ad : “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-`Abdari dari bapaknya, ia berkata :

“Mush`ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush`ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Quaimah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush`ab mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul”. Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush`ab membungkuk kearah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraih kedada sambil mengucapkan : Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush`ab pun gugur, dan bendera jatuh”.


Gugurlah mush`ab dan jatuhlah bendera..Ia gugur sebagai bintang dan mahkota para syuhada. Dan hal itu dialaminya setelah keberaian yang luar biasa mengarungi kancah pengorbanan dan keimanan. Di saat itu Mush`ab berpendapat bahwa sekiranya ia gugur, tentulah jalan para pembunuh akan terbuka lebar menuju Rasulullah saw tanpa ada pembela yang akan mempertahankannya.. Demi cintanya yang tiada terbatas kepada rasulullah saw dan cemas memikirkan nasibnya nanti, ketika ia akan pergi berlalu, setipa kali pedang jatuh menerbangkan sebelah tangannya, dihiburnya dirinya dengan ucapan : “Muhammad saw itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”.

Kalimat yang kemudian dikukuhkan sebagai wahyu ini selalu diulang dan dibacanya sampai selesai, hingga akhirnya menjadi ayat suci Al-Qur`an yang selalu dibaca orang.

Setelah pertempuran usai,ditemukan jasad pahlawan ulung yang syahid itu terbaring dengan wajah menelungkup ke tanah digenangi darahnya yang mulia. Dan seolah-olah tubuh yang telah kaku itu masih takut menyaksikan bila Rasulullah saw ditimpa bencana, maka disembunyikannya wajahnya agar tidak melihat peristiwa yang dikhawatirkan dan ditakutkannya itu. Atau mungkin juga ia  merasa malu karena telah gugur sebelum hatinya tenteram beroleh kepastian akan keselamatan Rasulullah saw, dan sebelum ia selesai menunaikan tugasnya dalam membela dan mempertahankan Rasulullah saw sampai berhasil.

Wahai Mush`ab cukuplah bagimu Ar Rahman……
Namamu harum semerbak dalam kehidupan……..


Rasulullah saw bersama para sahabat dating meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush`ab, bercucurlah dengan deras air matanya. Berkata Khabbah ibnul `Urrat:

“Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah saw, dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikitpun juga.  Diantaranya ialah mush`ab bin Umair yang tewas diperang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andaikan di taruh diatas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Maka sabda Rasulullah saw : “Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir.”

Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah saw karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh kafir Qurasy demikian rupa, hingga bercucurlah airmata sang Nabi saw. Dan betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para sahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya. Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah saw tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarka isi hatinya….Memang, rasulullah saw berdiri di depan Mush`ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan ksih saying, dibacakannnya ayat :

Di antara orang-orang mukmin terdapat pahlawan-pahlawan yang telah menepati janjinya dengan Allah (QS. Al-Ahzab : 23)

Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda:

“Ketika di Mekkah dulu, tak seorangpun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya di balut sehelai burdah.”
Setelah melayangkan pandang, pandangan sayu kea rah medan serta para syuhada kawan-kawan mush`ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah saw berseru:

“Sungguh, Rasulullah saw akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah.

Kemudian sambil berpaling kea rah sahabt yang masih hidup, beliau bersabda:

            “Hai manusia.. Berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam. Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya.

Salam atasmu wahai Mush`ab….
Salam atasmu sekalian, Wahai para Syuhada…
Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar